Padd Solutions

Converted by Falcon Hive



Imam Syafi'i pernah mengungkapkan sebuah ungkapan yang bunyinya : "Tafakkur satu jam, lebih baik dari ibadah satu tahun." Sepintas, ungkapan Imam Syafi'i tersebut berlebihan. Bagaimana mungkin sebuah amal yang dilakukan dalam rentang 1 jam, bisa lebih baik dari ibadah selama satu tahun?

Ungkapan Imam Syafi'i itu tentu tidak disampaikan dalam konteks perbandingan yang saling menafikan antara yang satu dengan yang lain. Imam Syafi'i tidak mengajak agar orang melakukan tafakkur satu jam, lalu tak perlu beribadah selama satu tahun. Sama sekali tidak. Ia hanya ingin menekankan pentingnya merenung, menghisab diri, mengevaluasi amal yang telah lalu, menekuri hidup, dan seterusnya. Sikap ini sangat penting dan bahkan menjadi syarat seseorang untuk mampu memiliki kualitas ibadah yang lebih baik.

Ada beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan agar kita terbiasa mengambil pelajaran dari masa lalu, baik dari apa yang telah dilakukan diri sendiri, maupun orang lain.

Merenung, Bermuhasabah, atau Mengevaluasi Amal dalam Satu Hari
Kebiasaan seperti inilah yang dilakukan seorang sahabat yang menurut Rasulullah sebagai ahli surga. Dalam hadits shahih disebutkan dalam tiga kesempatan Rasulullah menyinggung kedatangan sahabat calon penghuni surga itu di dalam majelis para sahabat. Ahli surga itu ternyata bukan ahli ibadah yang kuantitas ibadahnya melebihi para sahabat lain. Ia hanya kerap melakukan evaluasi diri menjelang tidurnya setiap malam, lalu ia hapus semua rasa gundahnya pada sesama muslim.
Dalam kitab "Bukaul Mabrur" yang mengulas tentang tangisan orang-orang shalih disebutkan perkataan salafushalih, "Para orangtua kami selalu menghitung diri dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, kemudian mereka menulisnya dalam sebuah daftar. Setelah shalat Isya', mereka mengeluarkan daftar amal dan ucapannya kemudian menimbangnya. Jika amalan yang diperbuat buruk dan perlu istighfar, maka mereka bertaubat dan beristighfar. Namun jika amalannya baik dan perlu disyukuri, mereka pun bersyukur kepada Allah hingga mereka tidur. Kami pun mengikuti jejak mereka. Kami mencatat apa yang kami perbuat dan menimbangnya."

Memiliki Agenda Harian untuk Mengevaluasi Amal-amal yang Telah Dilakukan
Agenda harian ini berisi daftar amal harian yang dianggap wajib dilakukan. Misalnya saja, kewajiban shalat Subuh dan Isya di masjid, memulai pekerjaan dengan Bismillah, membaca istighfar minimal 100 kali, membaca Al-Qur'an sekian halaman, dan sebagainya. Sebaiknya catat pula alasan, problem, dan hambatan yang menjadikan kita tidak mampu menunaikan amal-amal harian tersebut. Mencatat hambatan amal-amal baik akan menjadi bahan pengalaman agar bisa diantisipasi pada waktu selanjutnya. Sebagaimana setiap orang akan menerima lembaran-lembaran amalnya selama di dunia pada pengadilan akhirat nanti, setiap muslim sangat dianjurkan untuk menghitung-hitung sendiri amal-amalnya sejak di dunia. Tujuannya jelas, agar segala keburukan tidak terulang, dan segala kebaikan terpelihara bahkan lebih baik lagi. Umar RA memberi nasehat, "Hasibuu anfusakum, qabla an tuhasabuu." Hisablah amal-amal kalian sendiri, sebelum amal-amal kalian dihisab (oleh Allah di hari kiamat)."
Imam Hasan Al-Bashri mengatakan, "Sesungguhnya penghisaban di hari kiamat akan ringan bagi kaum yang telah menghisab amalannya di dunia, begitu pula sebaliknya penghisaban di hari kiamat akan berat bagi orang yang tidak menghisab amalannya di dunia."

Biasakan Menilai dan Mempertajam Kontrol Terhadap Diri Sendiri
Seseorang yang takjub dengan pribadi Hasan Al-Bashri pernah bertanya, "Siapa yang mendidikmu memiliki pribadi seperti ini?" Hasan Al-Bashri menjawab pendek, "Diriku sendiri." "Bagaimana bisa seperti itu?" tanya orang itu lagi. Hasan menguraikan, "Jika aku melihat keburukan pada orang lain, aku berusaha menghindarinya. Jika aku melihat kebaikan pada orang lain, aku berusaha mengikutinya. Dengan begitulah aku mendidik diriku sendiri."
Sikap ulama shalih generasi Tabi'in itu jelas menekankan pentingnya seseorang mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa. Teorinya sederhana, meniru yang baik dan menghindari yang tidak baik. Tapi hasilnya, prinsip itulah yang melahirkan pribadi yang menakjubkan. Apa yang melatarbelakangi Hasan Al-Bashri berprinsip seperti itu? Tidak lain untuk menghindari kekeliruan masa lalu, baik yang dilakukan diri sendiri maupun orang lain. Itu kuncinya, sehingga dari hari ke hari ia selalu berupaya memperbaiki kepribadiannya.

Sadarilah bahwa Belajar dari Pengalaman Akan Menambah Kedewasaan dan Kebijaksanaan dalam Menyikapi Hidup
Semakin banyak orang bercermin terhadap masa lalu, maka ia akan semakin bijaksana dalam menentukan langkah. Saat mendapat kelapangan, seseorang tidak akan mudah larut oleh kesenangan. Ia berpikir bahwa ada kalanya lapang dan ada kalanya sempit. Saat mendapat kesulitan, ia juga tak mudah hanyut. Karena ia berpikir bahwa kesulitan akan silih berganti dengan kemudahan. Dan seterusnya. Perbandingan seperti ini membuat seorang mukmin tetap bersyukur apapun kondisi yang ia alami. Itulah variasi dan itulah wujud kesempurnaan hidup sehingga saling melengkapi. Tanpa sikap seperti ini, orang akan mudah terkena penyakit jiwa. Mudah gelisah dan selalu merasa tidak puas. Ia bahkan sulit merasa bahagia karena selalu terombang ambing oleh dinamika hidup itu sendiri.

Ketahuilah bahwa dalam Batas Tertentu Kesalahan dan Kekeliruan adalah Lumrah
Allah SWT tidak menciptakan manusia sempurna. Selalu saja ada manusia yang lebih di sini dan kurang di sana. Atau sebaliknya, lebih di sana dan kurang di sini. Sehingga prinsipnya jangan takut gagal dalam beramal. Tidak jarang, kegagalan dan kesalahan merupakan batu loncatan ke arah kebaikan. Setidaknya ia menjadi spirit untuk melakukan penebusan. Makna ini antara lain yang terkandung dalam pesan Rasulullah agar kita mengiringi segala keburukan yang kita lakukan dengan kebaikan. "Bertakwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada. Dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Selami Sejarah Orang-orang yang Hidup di Masa Lalu
Dengan mengetahui masa lalu, berarti seseorang memiliki modal informasi berharga sebagai bekal perjalanan yang ia lakukan di masa mendatang. Peristiwa apapun, baik dilakukan oleh sebuah generasi maupun orang per orang, harus menjadi cermin perbandingan melangkah ke depan. Kehidupan ini tak ubahnya cermin pengulangan masa lalu. Silih berganti antara keberhasilan dan kegagalan, kemenangan dan kekalahan, kebahagiaan dan kesedihan. Semuanya berputar dan berganti bagai pergantian siang dan malam. Firman Allah SWT, "Dan hari-hari itu kami pergilirkan di antara manusia..." (QS. Ali Imran : 140).
Itulah hikmah dari penjabaran sejarah perjuangan para Rasul dan Nabi yang tertuang dalam Al-Qur'an. Allah SWT membina mental perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya melalui uraian panjang tentang perjuangan para Nabi dan Rasul sebelum mereka. Jejak sejarah perjuangan itulah yang akan menjadi rambu bagi umat manusia sepanjang zaman dalam menegakkan kebenaran.
Fir'aun hanya satu tokoh sejarah yang diungkapkan Al-Qur'an. Ia merupakan simbol penguasa yang melakukan kekejaman dan penindasan terhadap rakyat, sekaligus memusuhi ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Nabiyullah Musa AS. Mungkinkah saat ini muncul tokoh penguasa semacam Fir'aun? Justeru itulah inti pelajaran sejarah yang dipaparkan Al-Qur'an. Melihat sejarah sepak terjang Fir'aun, manusia diajak mengerti bagaimana bahayanya kejahatan yang datang dari sebuah kekuasaan. Lebih berbahaya dari kejahatan kriminal berupa pembunuhan atau perampokan.
Kisah Fir'aun juga memberi gambaran kepada para penegak kebenaran bahwa mereka akan selalu menghadapi gembong-gembong kejahatan. Karena setiap zaman memiliki 'Fir'aun'nya sendiri.

Seringlah Berdiskusi, Bertukar Pengalaman, Saling Menasihati dengan Orang-orang Shalih Tentang Berbagai Fenomena Hidup
Seorang pemikir menyebutkan, "Manusia itu ibarat burung yang bersayap sebelah." Tak mungkin bisa terbang, jika ia tak memiliki sayap pasangannya. Maka, ia hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat dan bekerjasama dengan orang lain. Begitulah analoginya, setiap orang memerlukan bantuan orang lain untuk bisa berhasil dalam hidup. Apa artinya?
Setiap orang harus bisa saling memberi dan membantu satu sama lain. Rasulullah mengistilahkan hal ini dengan sabdanya, "Setiap mukmin adalah cermin bagi saudaranya yang lain." Cermin, sumber informasi paling akurat dan jujur tentang berbagai fenomena. Cermin tempat memperoleh penilaian tentang diri, kapan pun dan di mana pun. Cermin juga pandai menyimpan informasi hanya pada pihak yang langsung terkait dengan informasi itu.

Roda kehidupan takkan pernah berhenti bergulir. Hari demi hari terus berjalan. Tugas kita adalah memanfaatkan kesempatan hari ini untuk menyongsong hari esok. Terlalu banyak pelajaran yang seharusnya membuat kita menjadi lebih baik dari yang telah lalu. Terlalu banyak pengalaman yang seharusnya menjadikan kita berhati-hati dan berhitung matang untuk melangkah. Terlalu banyak peringatan untuk menyadarkan kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Dikutip dari Kota Santri

MENGGAPAI CINTA ILAHI

Senin, Oktober 13, 2008 0 comments


Cinta adalah suatu hal yang kebanyakan manusia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Cinta adalah sesuatu yang disenangi oleh jiwa. Mendapatkan cinta kasih dari makhluk adalah menyenangkan, apalagi jika cinta itu datang dari Sang Pencipta.

Cinta Allah kepada hamba-Nya merupakan perkara yang luar biasa dan besar, karunia yang melimpah dan tiada bisa diketahui nilainya, kecuali oleh orang yang telah mencapai ma’rifat akan Allah.

Jika seorang hamba mengetahui begitu luar biasanya arti cinta Allah kepada hamba-Nya, pastilah ia akan segera mencari jalan untuk menggapai cinta agung tersebut.

Inilah tiga hal di antara beberapa hal yang dapat ditempuh seorang hamba untuk mendapatkan cinta dari Allah.

Tadabbur Terhadap Al-Quran

Salah satu amalan yang sangat besar nilainya untuk mendapatkan cinta dari Allah adalah membaca Al-Quran sambil merenungkan dan memahami makna serta maksudnya.

Allah berfirman,

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang di dalamnya penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya, dan supaya mendapatkan pelajaran bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya.” (Shaad: 19)

Amalan ini mempunyai tujuan yang agung dan sangat penting. Tujuan dari tadabbur Al-Quran adalah agar hati seorang hamba senantiasa disibukkan dengan merenungi arti dari kalimat yang dibaca, dan dengan indra yang dimiliki, ia menjawab setiap ayat yang dibaca. Pada setiap ayat yang sesuai, ia berdoa, memohon ampunan, rahmat, serta memohon perlindungan dari siksa pedih di akhirat kelak.

Tiada suatu amalan yang lebih bermanfaat daripada membaca Al-Quran dengan tadabbur dan tafakkur. Karena yang demikian ini telah mencakup seluruh aktivitas mendekatkan diri kepada Allah. Amalan ini mampu melahirkan cinta, rasa takut dan pengharapan, serta seluruh hal yang mengakibatkan hidupnya hati. Seandainya orang-orang mengetahui manfaat yang terkandung di dalam amalan ini, maka pastilah mereka akan terus-menerus membaca Al-Quran dengan tadabbur dan melupakan aktivitas yang lain.

Membaca satu ayat dengan tadabbur dan memahami maknanya adalah lebih baik, jika dibandingkan dengan mengkhatamkan Al-Quran tanpa memahami maknanya. Yang pertama lebih bermanfaat bagi hati, lebih efektif dalam menggapai keimanan dan mereguk manisnya Al-Quran. Inilah amalan rutin para ulama salaf.

Amalan Fardhu Kemudian Sunnah

Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah yang fardhu merupakan jalan pula untuk mendapatkan cinta dari Allah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang untuknya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku fardhukan kepada mereka. Dan hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, hingga Aku mencintai mereka…”(Riwayat Al-Bukhari)

Ibnu Taimiyah berkata bahwa wali Allah yang benar-benar wali adalah mereka yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana firman Allah,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62-63)

Hadits di atas mengandung kesimpulan bahwa yang menyebabkan didapatinya cinta Allah itu karena melaksanakan dua perkara. Pertama, melaksanakan segala yang telah difardhukan oleh-Nya. Sedangkan kedua, mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengamalkan ajaran-ajaran yang telah disunnahkan oleh Rasul-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa melaksanakan amalan fardhu itu adalah lebih Dia cintai.

Hamba yang dicintai Allah itu senantiasa memperbanyak amalan-amalan sunnah, sehingga derajatnya meningkat menjadi kekasih Allah. Jika hamba tersebut telah menjadi kekasih Allah, maka kecintaan Allah kepadanya mengakibatkan lahirnya cinta baru kepadanya yang lebih besar dari cinta yang pertama.

Dzikir

Cara lain untuk menggapai cinta Allah adalah dengan terus-menerus berdzikir kepada-Nya dalam berbagai keadaan.

Ibnu Rajab dalam Ikhtiyarul Ula mengatakan bahwa amalan yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kecintaan Allah, yang sekaligus merupakan tanda-tanda bagi hamba yang mencintai-Nya adalah memperbanyak dzikir dengan hati maupun lisan.

Allah berfirman, “Dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung.” (Al-Jumuah: 10)

Di dalam Al-Quran, Allah banyak menyebutkan dzikir sebagai penyerta amal-amal salih, misalnya salat, puasa, salat Jumat, haji, dan jihad.

Dzikir kepada Allah ada beberapa macam, di antaranya adalah mengingat serta memuji Allah dengan menggunakan nama-Nya serta sifat-sifat mulia lainnya yang melekat pada-Nya, membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan tamjid, kemudian juga mengingat Allah dengan menyebutkan hukum, perintah, serta berbagai larangan-Nya.

Tiga amal salih di atas merupakan amal-amal agung yang ampuh untuk meraih cinta dari-Nya. Walaupun tampak ringan, namun tidak mudah untuk dilakukan kecuali bagi orang yang Allah mudahkan. Sebaik-baik amal salih adalah yang kontinyu, walaupun terasa sedikit. Dan hendaknya begitulah tiga amal ini dilaksanakan, agar kita senantiasa mendapatkan cinta dari Allah. (Abu Ukasyah)


Sumber: Di Bawah Naungan Cinta. Abdul Hadi Hasan Wahbi. Pustaka Azzam
Dikutip dari Dudungnet