"Jika kamu tidak memahami teman kamu dalam semua keadaan, maka kamu tidak akan pernah memahaminya sampai bila-bila."--Khalil Gibran--
Kebanyakakan dari kita berharap agar kita bisa di mengerti oleh orang lain. Komposisi kelompok ini jauh lebih mendominasi daripada sekelompok orang yang berusaha mengerti orang lain. Hal semacam ini tampaknya sudah lumrah dalam kehidupan manusia karena memang seperti inilah fitrah manusia. Mungkin karena hal inilah banyak pepatah, kata mutiara, nasehat-nasehat orang tua dan yang semisalnya mengatakan, “bila ingin hidup harmonis dan bahagia mesti ada saling pengertian antara kedua belah pihak”. Intinya bukan lagi mempertanyakan kenapa kamu tidak bisa mengerti aku karena hal ini menjadi rancu bila dihadapkan dengan pertanyaan, “siapakah yang harus mengerti? aku yang harus mengerti kamu, atau kamu mesti mengerti aku”. Idealnya sih sama-sama mengerti. Kamu mengerti aku, dan aku mengerti kamu. namun pada kenyataannya, kelompok yang mencoba saling pengerti ini jumlahnya jauh daripada orang-orang yang memaksakan egonya, dan dengan tanpa rasa bersalah berharapa orang lain mengerti tanpa peduli kalau orang lain juga layak untuk dipahami.
Kenyataan bahwa manusia ingin dimengerti sangatlah wajar. Menempatkan harapan-harapan kita untuk bisa dimengerti orang lain di pundak kawan-kawan kita, pasangan hidup, atau orang-orang dewasa lainnya bukan suatu kesalahan. Namun banyak juga yang menaruh harapan ini jauh diluar akal sehat. Bayangkan saja bila ada orang tua yang mengharapkan pengertian anak-anaknya yang usianya kurang dari dua belas tahun. Ia berharap anak-anaknya dapat memahami susahnya hidup yang ia jalani misalnya. Atau seorang anak yang telah dewasa secara umum berharap pengertian orang tuanya yang telah jompo dan begitu menginginkan perhatian lebih. Tentu saja bila keadaan ini dipaksakan akan banyak menimbulkan gejolak dalam kehidupan emosional kita. Kita mungkin bisa melihat anak-anak kita tampak begitu paham dengan apa yang kita harapkan. Tetapi apakah memang demikian. Bisa jadi mereka berbuat seperti itu bukan karena ia mengerti, melainkan karena ia tidak punya kuasa atas arogansi kita dalam memaksakan keinginan.
Semua itu hanyalah pendapat pribadi saya yang mencoba merenungi kenyataan hidup (wuih sok jadi filsuf nich..he..3x). Saya sendiri belum memiliki seorang anak ataupun orang tua Jompo, jadi bisa bicara banyak tentang idealisme ini. Entah kelak, bila saya mengalami sendiri masalah ini, mungkin saya bisa mengerti mengapa kita begitu berharap akan pengertian anak-anak dan orang tua kita. Pastinya saya selalu berdo’a agar kelak saya masih bisa ingat akan tulisan ini bila kenyataan itu datang menyapa jalan hidup saya. tentu saja saya juga berdo’a agar tidak salah mengerti akan meraka dan orang-orang lain yang menghiasi hidup saya. Karena saya tahu, salah mengerti tidak jauh berbeda dengan tidak mengerti
Kenyataan bahwa manusia ingin dimengerti sangatlah wajar. Menempatkan harapan-harapan kita untuk bisa dimengerti orang lain di pundak kawan-kawan kita, pasangan hidup, atau orang-orang dewasa lainnya bukan suatu kesalahan. Namun banyak juga yang menaruh harapan ini jauh diluar akal sehat. Bayangkan saja bila ada orang tua yang mengharapkan pengertian anak-anaknya yang usianya kurang dari dua belas tahun. Ia berharap anak-anaknya dapat memahami susahnya hidup yang ia jalani misalnya. Atau seorang anak yang telah dewasa secara umum berharap pengertian orang tuanya yang telah jompo dan begitu menginginkan perhatian lebih. Tentu saja bila keadaan ini dipaksakan akan banyak menimbulkan gejolak dalam kehidupan emosional kita. Kita mungkin bisa melihat anak-anak kita tampak begitu paham dengan apa yang kita harapkan. Tetapi apakah memang demikian. Bisa jadi mereka berbuat seperti itu bukan karena ia mengerti, melainkan karena ia tidak punya kuasa atas arogansi kita dalam memaksakan keinginan.
Semua itu hanyalah pendapat pribadi saya yang mencoba merenungi kenyataan hidup (wuih sok jadi filsuf nich..he..3x). Saya sendiri belum memiliki seorang anak ataupun orang tua Jompo, jadi bisa bicara banyak tentang idealisme ini. Entah kelak, bila saya mengalami sendiri masalah ini, mungkin saya bisa mengerti mengapa kita begitu berharap akan pengertian anak-anak dan orang tua kita. Pastinya saya selalu berdo’a agar kelak saya masih bisa ingat akan tulisan ini bila kenyataan itu datang menyapa jalan hidup saya. tentu saja saya juga berdo’a agar tidak salah mengerti akan meraka dan orang-orang lain yang menghiasi hidup saya. Karena saya tahu, salah mengerti tidak jauh berbeda dengan tidak mengerti